(10/05/2017-Amel)
Membaca tak sekedar mengeja huruf, mengurutkan kata, menyelesaikan kalimat, ataupun menggerakkan mata. Membaca adalah mengambil makna, pesan, serta esensi dari tulisan yang tersirat. Mudah dan menguntungkan namun banyak yang tak berminat. Dalam islam, membaca adalah perintah Illahi yang diturunkan Allah SWT untuk manusia sebagai sesuatu yang dikategorikan Fardhu ain. Sebagaimana yang telah tertuang dalam Q.S Al-Alaq ayat 1-5. Dalam ayat tersebut, Allah memerintahkan Nabi untuk membaca karena bacaan tidak dapat melekat pada diri seseorang kecuali dengan mengulangi-ulanginya dan membiasakannya. Sedangkan pada saat itu Nabi tidak pandai membaca dan menulis namun dengan kekuasaan Allah akhirnya beliau dapat mengikuti ucapan malaikat jibril. Telihat jelas bagaimana cara Allah SWT menjadikan manusia sebagai makhluk yang mulia dengan memberikan kesanggupan untuk merengkuh ilmu agar bermanfaat dalam keperluan hidupnya.
Membaca tak sekedar mengeja huruf, mengurutkan kata, menyelesaikan kalimat, ataupun menggerakkan mata. Membaca adalah mengambil makna, pesan, serta esensi dari tulisan yang tersirat. Mudah dan menguntungkan namun banyak yang tak berminat. Dalam islam, membaca adalah perintah Illahi yang diturunkan Allah SWT untuk manusia sebagai sesuatu yang dikategorikan Fardhu ain. Sebagaimana yang telah tertuang dalam Q.S Al-Alaq ayat 1-5. Dalam ayat tersebut, Allah memerintahkan Nabi untuk membaca karena bacaan tidak dapat melekat pada diri seseorang kecuali dengan mengulangi-ulanginya dan membiasakannya. Sedangkan pada saat itu Nabi tidak pandai membaca dan menulis namun dengan kekuasaan Allah akhirnya beliau dapat mengikuti ucapan malaikat jibril. Telihat jelas bagaimana cara Allah SWT menjadikan manusia sebagai makhluk yang mulia dengan memberikan kesanggupan untuk merengkuh ilmu agar bermanfaat dalam keperluan hidupnya.
Menilik
tingkat pendidikan Indonesia yang masih rendah khususnya daerah-daerah
terpencil, terukir niat serta kemauan anak bangsa untuk mengenyam bangku
sekolah dengan fasilitas yag layak. Ada secercah asa dalam diri mereka untuk menggenggam
berbagai buku sebagai jembatan mengarungi masa depan yang cerah. Namun hal ini
tidak disiati dengan bijak oleh kebanyakan orang yang memiliki kesempatan dan
kemampuan ekonomi diatas kertas. Tak perlu jauh-jauh, mahasiswa misalnya.
Mengeluarkan selembar uang untuk membeli kuota lebih diprioritaskan daripada
membeli buku-buku yang gunanya tak perlu diragukan lagi. Miris jika
dibandingkan dengan mereka yang ingin mendapatkan ilmu namun harus menunggu
belas kasih berupa buku bekas.
Banyak
mahasiswa yang enggan membaca dengan alasan bahasa buku yang terlalu tinggi,
membuang-buang waktu ataupun gengsi. Mindset inilah yang harus dirubah, jangan
sampai kterbawa arus globalisasi. Terkikisnya minat baca dikalangan mahasiswa
membuat negara semakin resah. Bagaimana tidak, mahasiswa yang seharusnya
menjadi pribadi yang solutif dalam masyarakat kini hanya menyibukkan diri pada
gadget dan media sosial masing-masing. Hal tersebut memang merupakan kebebasan
tersendiri yang tidak boleh dibelenggu. Namun apakah akan terus-menerus
dibiarkan? Jelas masa depan bangsa akan bobrok jika generasi muda dangkal akan
wawasan. Budaya membaca harus segera ditingkatkan.. Bahkan saat ini sudah ada
fasilitas pendukung seperti perpustakaan keliling ataupun perpustakaan online
yang mendorong tumbuhnya kesadaran membaca bagi setiap kalangan. Namun naasnya,
perpustakaan yang merupakan gudang ilmu seringkali hanya dijadikan tempat
nongkrong dan memburu wi-fi. Padahal dengan membaca, mahasiswa bisa memperkaya
kualitas bahasa dalam kaitannya dengan segala aktivitas terutama menulis.
Disisi lain, ada suatu kondisi yang memaksa mahasiswa untuk membaca yaitu
terhimpit tugas. Larangan untuk menjauhi plagiarisme mengharuskan mahasiswa
untuk berkutik sejenak dengan buku. Namun tetap saja, mereka tidak menjadikan
hal tersebut sebagai suatu kebiasaan tersendiri.
Sebagai
seseorang yang akan menyandang status konselor, membaca adalah kebutuhan mutlak
yang harus dipenuhi. Sebab praktek tanpa dibekali teori akan terasa nihil.
Dosen sebagai perantara hanya menjelaskan secara singkatnya saja. Sementara
untuk memperdalam pemahaman serta analisis, mahasiswa dianjurkan untuk memburu
berbagai referensi. Apalagi dalam perspektif BKI yang notobenenya dipadu dengan
ilmu keislaman maka yang dipelajari tak hanya teori barat saja. Tak telepas
dari itu, ada juga mahasiswa yang merasa cukup dengan penjelasan dari dosen dan
menuntut untuk merasakan praktek lebih banyak. Tuntutan tersebut mereka
salurkan melalui organisasi yang terkait dengan konseling. Namun harus
ditegaskan sekali lagi bahwa yang akan dihadapi konselor nanti adalah klien
yang dengan beragam karakter dan budaya sehingga perlu penguasaan teori lebih
matang.
Dengan
hal ini, sudah selayaknya kegiatan membaca diperkenalkan sejak usia dini. Masa
anak-anak bisa dibilang masa emas untuk menanamkan bekal intelektual sebagai
tahap awal dalam mempersiapkan generasi berkualitas. Ketika rasa ingin tahu
anak-anak muncul, didiklah mereka untuk menguak apa yang dipikirkannya melalui
bacaan. Jangan sampai mereka terdistorsi oleh pengaruh luar yang menjerumuskan
pada informasi yang tidak benar. Apabila kebiasaan membaca sudah diterapkan
sejak dini maka kebiasaan tersebut akan mengakar pada diri seseorang hingga
beranjak dewasa. Namun apabila minat membaca baru muncul, mulailah membaca
dengan bahan bacaan yang ringan atau yang menarik perhatian terlebih dahulu.
Gunakanlah waktu seefektif mungkin, minimal satu hari untuk satu halaman buku.
Dan yang terpenting adalah jangan sampai mengabaikan membaca Al-Qur’an,
dianjurkan satu hari untuk satu juzz yang dapat dilakukan setelah mengerjakan
shalat lima waktu.