Part.1
Photo Credit : Google
(Cerita ini hanya fiksi, jika ada
kesamaan nama dan tempat saya mohon maaf)
Hempasan angin pantai terasa berat. Mengayun dengan lihainya tanpa
dosa. Manakala mengusik ketenangan dengan masa lalu yang pernah ada. Masa lalu
dengan cambukan penuh luka. Kini Lita duduk di hamparan pasir dengan pandangan
kosong. Memandang raja langit yang mulai terbenam dibalik bayangan air laut.
“Kak pulang yuk,
udah magrib nih.” rengek Bayu pada kakaknya.
Lita tersentak,
adiknya telah menyadarkannya dari lamunan. Kemudian ia bangkit dan menggandeng
lengan adiknya.
“Maaf ya, kakak
tadi keasyikan lihat matahari, yuk.”
Sesampainya di
rumah, Lita langsung menuju kamarnya dan meninggalkan Bayu di ruang tamu. Ia
duduk di depan cermin sambil menangis tersedu-sedu. Ingatannya kembali kemasa
lalu. Kini yang dirasakannya hanyalah rindu.
Dulu keluarga Lita
pernah tinggal di Bandung. Disana Lita mempunyai sahabat dekat bernama Dimas.
Lita sudah menganggapnya seperti kakak sendiri. Dimanapun ada Lita pasti disitu
ada Dimas. Namun sayang, ikatan persahabatan mereka harus kandas ditengah
jalan. Keluarga Dimas harus pindah dan 1 tahun setelahnya keluarga Lita
mengikuti jejak keluarga Dimas. Masing-masing keluarga hilang kontak.
“Lita makan dulu
sayang, kamu belum makan lagi kan dari tadi siang?” teriak mama dari luar kamar
Lita.
Lita terkejut,
kini mamanya yang telah mengagetkannya.
“Iya ma sebentar
lagi.” Lita mengusap air matanya dan beranjak dari tempat duduknya.
--#--
Paginya- Lita sudah siap dengan seragam sekolah lengkap. Wajahnya
sumringah. Kedua matanya memancarkan sinar. Ia mulai menuju ruang makan dengan
langkang membara.
“Pagi ma, pagi
Bay.” Sapa Lita ceria.
“Pagi sayang.”
Jawab mamanya dengan suka cita.
Tiada sapa untuk
Papanya, kini tiada lagi yang bisa mewakili sosok seorang papa. Mama dan papa
Lita telah bercerai 2 tahun setelah mereka pindah dari Bandung. Saat itu Lita
baru duduk di bangku kelas 1 SMP. Hidupya seakan tiada pondasi lagi. Betapa
tidak? Keluarga yang selalu ia bangga-banggakan kini tak utuh lagi. Keputusan
pengadilan menetapkan Lita dan Bayu tinggal bersama mamanya dan Zakka (anak
sulung) tinggal bersama papanya.
“Kak cepetan
makannya, aku nanti piket.” Bayu mulai merengek
“Iya sabar, ini
tinggal sesuap lagi kok.” Ujar Lita nyengir.
“Cepetannn.”
Teriak Bayu.
“Iya-iya, ma
berangkat dulu ya. Assalamu’alaikum.” Lita bangkit dari kursi makan dan
kemudian mencium telapak tangan mamanya.
“Wa’laikumsalam,
hati-hati ya.” Mama tersenyum.
Deru mesin motor
telah mengaung. Seketika Lita langsung tancap gas dengan kcepatan sedang. Bayu
telah memegang erat pinggang kakaknya. Matanya terpejam, seakan motor yang ditumpanginya
melaju seperti kilat.
--#--
Di pepohonan, kicauan burung telah mewarnai hiruk pikuk suasana
pagi. Bak menyambut hangat siswa/i Tarakanita. Sinar mentari mulai menyengat
sebagai refleksi penyemangat. Angin sepoi turut menghiasi sendu riang tanaman
kebun. Berbagai kendaraan dan kebul asapnya kian memadati tempat parkir.
Tarakanita adalah sekolah elit di Bandung yang menjadi idaman para
orangtua dan anaknya. Tak heran, sebab sekolah tersebut didukung fasilitas yang
memadai dan juga bersinergis dengan ukiran prestasi. Sekolah Tarakanita
tergabung dari tingkat SMP hingga SMA.
*sittttt* Decitan
motor Lita telah sampai di depan gerbang tepat 10 menit sebelum bel. Lita
langsung memarkir motornya di posisi paling barat. Dengan kecepatan gesit, Bayu
turun dan langsung berlari meninggalkan kakaknya.
Lita turun dari
motornya, kemudian menuju koridor dengan langkah santai. Namun pandangannya
berhenti ke arah para cowok yang sedang bertandung basket. Hal itu mengingatkan
Lita pada kakaknya yang sangat menyukai basket. Beberapa menit melamun, tanpa
sadar sebuah bola besar melambung tinggi tepat di depan wajah Lita. Bola basket
itu menghantam kepala Lita dengan kerasnya. Kunang-kunang mulai berputar
mengelilingi kepala Lita. Bayangan hitam perlahan-lahan menutupi pandangannya
dan tak lama kemudian Lita jatuh pingsan.
“
Eh...sorry..sorry.” seorang cowok berteriak sambil berlari tergopoh-gopoh ke
arah Lita.
“ Parah lu Boy,
anak orang lu bikin pingsan.” Seru anak-anak lain yang berada di tempat
kejadian.
“ Gue kan gak
sengaja.” Jelas Boy dengan sungguh-sungguh.
Boy menggendong
Lita dengan hati-hati. Sorot matanya penuh kecemasan dan berharap tak terjadi
apa-apa. Dengan langkah kilat, Boy langsung menuju UKS. Ia membaringkan Lita di
kasur yang berada di sudut ruangan. Minyak kayu putih tak luput ia hirupkan di
dekat hembusan nafas Lita. Beberapa menit kemudian Lita sadar, lalu mengerang
kesakitan sambil memegang kepalanya.
--- Bersambung
---
0 komentar:
Posting Komentar