Comeback Stronger

Minggu, 09 April 2017

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSELING LINTAS AGAMA DAN BUDAYA


            A.    Faktor yang Mempengaruhi Konseling Lintas Agama dan Budaya
1.      Persepsi
Persepsi/per·sep·si/ /persépsi/ n : tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu,  proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancaindranya.[1]
Adanya perbedaan persepsi budaya/agama , jika tidak disikapi dengan bijaksana, dapat berubah menjadi konflik, yang merugikan kedua pihak. Kemampuan seorang konselor dalam memahami persepsi budaya/agama yang berbeda menjadi penentu keberhasilan sebuah proses Konseling Lintas Agama dan Budaya.
2.      Emosi
Emosi/emo·si/ /émosi/ n : luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat. Keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis (seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan).[2]
Emosi menurut Wade dan Tavris (2007) adalah situasi stimulus yang melibatkan perubahan pada tubuh dan wajah, aktivitas pada otak, penilaian kognitif, perasaan subjektif, dan kecendrungan melakukan suatu tindakan yang dibentuk seluruhnya oleh peraturan-peraturan yang terdapat di suatu kebudayaan.
Menurut The American College Dictionary, (H. Djali, 2007) emosi adalah suatu keadaan afektif yag disadari dimana dialami perasaan seperti kegembiraan (joy), kesedihan, takut, benci, dan cinta (Dibedakan dari keadaan kognitif dan keinginan yang disadari), dan juga perasaan seperti kegembiraan (joy), kesedihan, taku, benci, dan cinta.
Sebenarnya banyak emosi spesifik, akan tetapi permasalahan emosi yang sering dijumpai dalam konseling adalah empat emosi dasar yaitu:
a.       Sakit Hati (Hurt)        
Rasa sakit hati (Hurt) adalah pengalaman yang dialami seseorang ketika terluka secara psikologis yang mengakibatkan gangguan mental, sehingga menimbulkan berbagai konflik dan rasa marah. Dalam proses konseling konselor dapat membantu klien untuk memberikan reaksi konstruktif terhadap rasa sakit hati dalam cara-cara pertumbuhan yang produktif. Hal itu dapat dilakukan dengan empat tahap yaitu: (1)Mengakui diri sakit hati, (2)Mencoba mencari arti dari rasa sakit hati itu, (3)Mencari serta menemukan penyebab sakit hati itu sendiri, (4)Melakukan upaya untuk menghindari perasaan sakit agar tidak terjadi di masa yang akan datang.
Konselor dapat mengajarkan tahapan-tahapan itu baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung konselor menuntun klien melampaui tahapan-tahapan sambil memberikan penjelasan serta alasan pentingnya hal itu. Secara tidak langsung konselor dapat melakukannya melalui penciptaan situasi konseling yang kondusif, sehingga klien senantiasa memperoleh kebahagiaan.
b.      Takut (Fear)
Rasa takut timbul dari antisipasi terhadap ancaman fisik atau psikologis spesifik. Ancaman psikologis merupakan sumber utama timbulnya rasa takut yang dibawa pada umumnya oleh klien ke dalam konseling.
Karena psikis seseorang memiliki sisi yang luas dalam upayanya untuk mempertahankan diri, maka manusia terbuka terhadap banyak ancaman, dan pada gilirannya akan mengalami bnayak takut. Ada empat ketakutan yang sering dibawa klien dalam proses konseling, yaitu: Takut terhadap keakraban, Takut terhadap penolakan, Takut terhadap kegagalan, Takut terhadap kebahagiaan
c.       Marah (Anger)
Banyak orang yang telah diajarkan bahwa marah itu merupakan suatu emosi negative, sehingga berusaha untuk menghapus atau menghindarinya.  Tugas konselor ialah membantu klien agar kemarahan itu menjadi lebih realistis dan mampu menyatakan marah dengan cara yang mengarah pada tindakan positif.
Marah disebabkan oleh dua hal, yaitu pertama terjadi saat adanya halangan dalam mencapai pemuasan suatu kebutuhan, dan kedua, terjadi ketika dalam proses pemenuhan kebutuhannya mendapat hambatan dari dirinya sendiri. Yang pertama kemudian berkembang menjadi bentuk marah kepada pihak lain, dan yang kedua menjadi marah pada diri sendiri. Tujuan marah pada pihak lain adalah menggerakkan individu memindahkan hambatan dalam pemenuhan kebutuhan, atau memindahkan orang dari situasi di mana kebutuhan tidak terpenuhi.
Konselor harus dapat megenali perbedaan kedua jenis kemarahan tersebut, agar dapat membantu klien dalam mengatasi masalah yang berkaitan dengan marah.
Ada beberapa manisfestasi marah terhadap diri sendiri dalam cara-cara deskruktif, yaitu: Depresi, Adiksi, Salah tempat dan orang, Perilaku serampangan, Pengorbanan, Canggung atau kikuk, Manisfestasi fisik, Degradasi perilaku.
Seperti halnya marah terhadap diri sendiri, marah terhadap pihak lain dapat dimansifestasikan dengan cara-cara deskruktif sebagai berikut: Moralism, Hostile Talk (Sindiran), Shutting Down (menjatuhkan orang lain, Purposeful Ineptness (ecanggungan bertujuan), Victimizing (membuat korban), Ambushing (penyerangan), Passivity (bersikap pasif), Getting Sick (menjadi sakit).
d.      Rasa Bersalah
Rasa bersalah adalah perasaan tidak nyaman/gundah atau malu pada saat seseorang melakukan kesalahan, keburukan, atau amoral. Konselor harus dapat membantu klien apabila merasakan rasa bersalah dan membantu mereka apakah rasa bersalah itu benar atau salah, kemudian menemukan cara yang tepat untuk menghindari masalah yang timbul. Konselor juga harus memahami adanya tiga macam rasa bersalah yaitu: (1)Rasa bersalah psikologis, (2)Rasa bersalah social, (3)Rasa bersalah religi
Hal penting bagi konselor adalah mengetahui perbedaan dari ketiga tipe rasa bersalah itu untuk membantu klien memecahkan masalah rasa bersalah. Rasa bersalah dapat terjadi secara sadar maupun tak sadar. Rasa bersalah yang tidak disadari mengakibatkan munculnya perilaku menghukum diri sendiri sebagai jalan untuk bertobat karena rasa bersalah tersebut. Dalam beberapa hal beberapa perilaku lebih bnayak dimotivasi oleh rasa bersalah yang tidak disadari, seperti berikut:
1)      Pendirian bahwa ada sesuatu yang salah dalam diri sendiri dan keragu-raguan.
2)      Menciptakan ketidak-puasan
3)      Psikosomatis atau gejala hipokondria
4)      Doronga kebutuhan yang berlebihan, dsb.[3]
3.      Kesadaran budaya
Hal yang sangat kompeten dalam komunikasi interkultural adalah pemahaman individu terhadap kebiasaan sosial (social customs) dan sistem sosial (social system) pada sekumpulan besar budaya (host cultural). Memahami bagaimana seseorang memikirkan dan berkelakuan tang esensiil (essential) untuk komunikasi yang efektif dengan mereka.
Rintangan-rintangan komunikasi (comunication barriers) interkultural menurut LaRay M. Barna (1997), menunjukan ada enam rintangan komunikasi interkultural, yaitu
a.       Kecemasan (anxiety)
Penghalang yang pertama adalah kecemasan yang tinggi. Ketika seseorang cemas karena tidak mengetahui apa yang harus dilakukan, kondisi semacam ini akan menghalangi seseorang dalam melakukan komunikasi interkultural. Seperti misalnya, seseorang mungkin akan mengalami kecemasan ketika memasuki kampus yang asingbaginya, atau pekerjaanyang asing baginya. Dalam kondisi cemas seperti ini seseorang mungkin akan berbuat kesalahan karena terlalu memusatkan perhatian agar tidak berbuat kesalahan, sehingga tampak canggung.
b.      Menganggap sama terhadap hal yang sebenarnya berbeda (assuming similarity instead of difference)
Rintangan yang kedua adalah menganggap sama terhadap hal yang sebenarnya berbeda. Jika seseorang yang pernah pindah dari suatu perguruan tinggi ke yang lain, mungkin mengalami rintangan ini. Pada perguruan tinggi pertama sebagai contoh, pendaftaran dilakukan dengan cara tertentu. Sedangkan pada perguruan tinggi lain dilakukan dengan cara yang lain pula. Oleh sebab itu anggapan yang sama dalam melakukan pendaftaran akan menyebabkan seseorang menjadi cemas dan melakukan kesalahan atau memerlukan banyak waktu ekstra, demikian pula dalam hal budaya, ketika seseorang mengasumsikan persamaan interkultural padahal sebenarnya kultur itu berbeda, mka mereka sebenarnya telah terjebak pada tingkatan tidak memperhatikan perbedaan.
c.       Etnosentrisme (ethnocentrism)
Rintangan yang ketiga bagi komunikasi interkultural yang efektif adalah etnosentris, yaitu secara negatif menghakimi bagian-bagian dari kultur lain dengan standar kultur diri sendiri. Sikap atau perilaku etnosentris timbul karena seseorang terlalu percaya akan keunggulan kultur diri sendiri dan memandang rendah kultur bentuk lain yang sedikit lebih ekstrim dari etnosentris ditandai dengan label “nearsighatedness”  budaya, yaitu mengira kultur diri sendiri menjadi induk yang diwarisi oleh kultur lain. Nearsighatedness budaya sering mengakibatkan seseorang membuat asumsi bahwa pemikiran yanng sederhana adalah sama dengan segala sesuatu dimana-mana. Sebagai contoh “eurocentric etnocentris”, seseorang hanya mengenali liburan barat disekolah yang mendasarkan kurikulum hanya pada sejarah barat, musik, dan seni. Istilah “Barat” dan “Timur” telah diberi label eurocen etnocentris. Asia adalah timur Eropa, tetapi untuk Asia “Timur” identitasnya tergatung pada Eropa.
Etnocentris ekstrim bisa berdampak negatif berupa mendorong seseorang ke arah penolakan kesempurnaan dan pengetahuan yang bersumber dari budaya lain. Hal itu bisa menyebabkan terhalangnya komunikasi dan merintangi pertukaran gagasan dan ketrampilan atar individu. Oleh sebab itu setiap individu yang cenderung bersikap etnocentris akan memiliki kecenderungan untuk menolak dan membatasi titip.
d.      Stereotip dan prasangka (stereotypes and prejudice)
Stereotip dan prasangka adalah suatu dinding penghalang bagi komunikasi interkultural. Istilah stereotip perluasan istilah yang umum digunakan untuk mengacu pada judgement negatif atau positif yang dibuat dan ditunjukan kepada individu-individu didasarkan pada beberapa pengamatan atau keyakinan anggota kelompok, dimana prasangka bekenaan dengan kebencian atau kecurigaan yang irasional terhadap suatu kelompok, ras, agama atau, orientasi seks. Istilah-istilah tersebut terkait dengan pembuatan judgement tentang individu-individu didasarkaan atas anggota kelompok.[4]

           B.     Faktor yang Terkait dengan Konselor
1.      Faktor kesadaran
a.       Kesadaran diri (inter/intra personal),
b.      Kesadaran akan budaya/agamanya sendiri,
c.       Kesadaran akan adanya pengaruh kelas sosial (kaya/miskin) dalam masyarakat,
d.      Kesadaran akan adanya perbedaan sikap dan prilaku individu,
e.       Kesadaran akan adanya kelompok budaya,
f.       Kesadaran akan keanekaragaman.
2.      Faktor Empati/Budaya
Empati budaya/agama: kemampuan seorang konselor untuk memahami permasalahan klien, dari sudut pandang:
a.       Latar belakang budaya/agamanya,
b.      Peka terhadap perasaannya,
c.       Kondisi psikologisnya.
3.      Faktor Toleransi
Bagaimana seorang konselor bisa memahami berbagai perbedaan yang ada antara dia dengan klien, karena perbedaan itu bisa menjadi energi positif yang tak ternilai. 

           C.    Faktor yang Terkait dengan Klien
1.      Pemahaman dan keyakinan terhadap agama  akan berpengaruh terhadap perilaku klien.
2.      Pemahaman terhadap budaya akan berpengaruh terhadap perilakunya sehingga  menentukan ciri khasnya sebagai individu yang berbeda dengan konselor.
3.      Pengaruh dari meningkatnya pemahaman terhadap agama dan budaya akan semakin meningkatnya saling toleransi, menghargai dan menerima diantara perbedaan individu.[5]
DAFTAR PUSTAKA

Adhipura, Anak Agung Ngurah. 2013. Konseling Lintas Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
http://irsyadbki.wordpress/ Diakses pada Kamis, 17 Maret 2016 pukul 12.15 WIB.
http://kbbi.web.id/persepsi/ Diakses pada Kamis 17 Maret 2016 pukul 12.15 WIB.
http://kbbi.web.id/emosi/ Diakses pada Kamis 17 Maret 2016 pukul 12.15 WIB.
http://netpro20.blogspot.co.id/2011/02/emosi-dalam-konseling.html/ Diakses pada Kamis, 17 Maret 2016 pukul 12.15 WIB.




[1] http://kbbi.web.id/persepsi/ Diakses pada Kamis 17 Maret 2016 pukul 12.15 WIB.
[2] http://kbbi.web.id/emosi/ Diakses pada Kamis 17 Maret 2016 pukul 12.15 WIB.
 [3] http://netpro20.blogspot.co.id/2011/02/emosi-dalam-konseling.html
 [4] Anak Agung Ngurah Adhipura, Konseling Lintas Budaya, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013),hlm.82-84
[5] http://irsyadbki.wordpress/ Diakses pada Kamis, 17 Maret 2016 pukul 12.15 WIB.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

 

Subscribe to our Newsletter

Contact our Support

Email us: Support@templateism.com

Our Team Memebers