Profesi
adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para
petugasnya. Artinya, pekerjaan yang disebut profesi itu tidak bisa dilakukan
oleh orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus terlebih
dahulu untuk melakukan pekerjaan itu. Sehingga tidak semua pekerjaan adalah
suatu profesi. Profesi memiliki ciri khas yang membedakannya dengan pekerjaan
lain. Bimbingan dan konseling dalam perspektif suatu profesi harus dapat
menjaga profesionalitasnya.[1]
A.
Perkembangan Konseling
Moursund
(1980) mengungkapkan bahwa tradisi penyembuhan terhadap berbagai jenis penyakit
di kalangan masyarakat Eropa khususnya Yunani, baik penyakit fisik maupun
mental pada beberapa abad yang lampau pada umumnya dilakukan secara tradisional
yaitu dengan jalan menghubung-hubungkan suatu gangguan mental dengan
kepercayaan terhadap tahayul dan kekuatan magis. Metode pennyembuhan yang ada
di Eropa ini sebenarnya jauh
ketinggalan jika
dibandingkan dengan kemajuan metode penyembuhan yang ada di Asia Dekat yang
telah menggunakan pendekatan ilmiah.
Pada
abad ke 8, menurut Moursund, rumah sakit-rumah sakit di Bagdad dan Damaskus
telah memiliki psikiater untuk menangani pasien yang mengalami kelainan mental,
yang tidak dijumpai di berbagai rumah sakit di Eropa. Baru pada abad ke-13,
beberapa rumah sakit di Eropa seperti di Prancis, Jerman, dan Inggris memiliki
tenaga psikiater untuk menangani pasien yang menderita kelaianan mental.
Moursund
mengungkapkan lebih lanjut bahwa baru pada abad ke-17 studi tentang kelainan
mental kian banyak memperoleh perhatian dari kalangan ahli kesehatan Eropa.
Thomas Sydenham misalnya pada 1689 menulis sebuah artikel tentang histeria
sebagai penyakit khusus, dan pada perkembangan selanjutnya bertambah banyak
studi-studi di bidang kesehatan mental ini, misalnya neurosis, hipnotis dan
sebagainya.
Studi
tentang kelainan mental dan proses penyembuhannya itulah yang telah mendorong
berkembangnya metodologi penyembuhan atau penanganan yang kita sebut dengan
psikoterapi. Sigmund freud merupakan tokoh utama dalam mengenalkan istilah
psikoterapi ini pada awal abad ke-20. Sejak masa inilah, psikoterapi
dikembangkan secara meluas di klinik-klinik rumah sakit untuk mengatasi berbagai
gangguan mental.
Upaya
mengatasi masalah kejiwaan ini tidak hanya dilakukan terhadap orang-orang yang
menderita gangguan mental. Orang yang mengalami hambatan, kegagalan, atau
ketidak puasan terhadap apa yang diharapkan juga merasa membutuhkan bantuan
dari pihak lain untuk dapat menyesuaikan diri secara tepat, termasuk dalam
penyesuaian di sekolah, tempat kerja, keluarga dan sebagainya. Kemajuan
penanganan terhadap penderita gangguan jiwa tersebut turut memajukan bagi
perkembangan teori dan praktik konseling.
Sedangkan
cikal bakal profesi konseling dari segi penanganan terhadap masalah-masalaah
pendidikan dan vokasional diungkap dalam berbagai literatur, bahwa secara
kelembagaan konseling mulai ada pada 1896, yaitu sejak Lightner Witmer
membentuk sebuah klinik yang disebutnya sebagai Psychologial Counseling Clinic
di University of Pennsylvania.[2]
Dua
tahun berikutnya 1898, Jesse B Davis mulai bekerja sebagai konselor pada
Central High School di Detroit. Davis banyak membantu menyelesaikan persoalan
murid-muridnya, terutama yang berhubungan dengan persoalan studi dan pemilihan
jurusan yang hendak ditempuh. Kemudian tahun 1907, Davis memperluas cakupan
bantuan kepada kliennya setelah pertemuan mingguan di sekolah (semacam MGBK di
Indonesia). Maka sejak itulah konseling lebih dikenal masyarakat Amerika.[3]
Perkembangan
konseling (dan psikoterapi) kian maju setelah banyak ahli mengembangkan
teori-teori psikologi dan konseling. Di antara para ahli yang turut membantu
mengembangkan konseling adalah Eli Weaver yang pada 1906, mempublikasikan
sebuah pamflet yang berjudul Chossing a
Career, pada 1908 Frank Parson mendirikan Vocational Bureau di Boston untuk membantu pemuda dalam memilih,
mempersiapkan dan memasuki dunia kerja. Bersamaan dengan usahanya pada biro ini
Parson sekaligus mengembangkan konsep bimbingan dan konseling vokasional.
Berkat kerja kerasnya ini, Parson oleh sebagian kalangan disebut sebagai
inovator konsep dan teknik konseling vokasional.
Perkembangan
konseling terus berlanjut. Pada 1913 di
Amerika didirikan National Vocational Guidance Association (NVGA), setelah itu
berdiri American Psychologist Asociation (APA), American school Counselor
Association (ASCA), dan Association for Counselor Educational and Counselor
Trainers (ACECT).
Secara
teoritik perkembangan konseling sejalan dengan perkembangan psikologi dan
psikiatri secara umum. Tori-teori psikologi dan psikiatri memberi sumbangan
yang sangat berarti bagi perkembangan konseling. Sigmund Freud (1856-1939)
peletak dasar psikoanalisis dan memberikan sumbangan bagi pemikiran psikologi
konseling bawah sadar.
E
Williamson mengembangkan konseling sifat dan faktor (trait and
factorcounseling), yang menuliskan gagasannya melalui buku How to Counseling
Student pada 1939 dan Counseling Adolescent pada 1950. Sementara itu, Carl
Rogers psikolog yang memilih jalan humanistik sangat berjasa dalam menemukan
inovasi-inovasi di bidang konseling dan psikoterapi. Rogers telah
memperkenalkan konseling berpusat pada person (person centered counseling), dan
sejumlah buku telah ditulisnya di antaranya adalah Counseling and Psychotherapy
pada 1942, dan On Becoming a Person pada 1961. Berkat karya-karyanya yang
progresif, William dan Rogers ini dianggap sebagai peletak dasar gerakan
konseling modern Pietrofesa
(1978).
Saat
ini secara riil konseling telah berkembang dengan sangat pesat. Perkembangannya
tidak saja ditunjukkan oleh terbitnya sejumlah buku , jurnal dan berbagai
penelitian konseling, tetapi juga ditunjukkan dengan tumbuhnya lembaga-lembaga
konsultasi yang di antaraanya memberi layanan konseling kepada masyarakat.
B.
Perkembangan Konseling di Indonesia
Perkembangan
konseling di Indonesia relatif baru. Kehadiran upaya konseling ini mula-mula
dikembangkan di sekolah-sekolah terutama sekolah menengah. Melihat kemajuan masyarakat
Indonesia yang sangat baik akhi-akhir ini, akhirnya konseling juga diterapkan
di pusat-pusat rehabilitasi sosial dan lembaga-lembaga sosial dan industri.
Di
Indonesia pekerjaan di bidang konseling ini mulai menunjukkan perkembangannya,
sekalipun keadaan ini tidak dapat diperbandingkan dengan pekembangan yang ada
di negara-negara maju. Selain masih relatif baru, pekerjaan ini belum banyak
dirasakan “kebutuhannya” atau tidak dianggap sebagai hal yang mendesak dan
tidak menjadi prioritas dalam mengatasi berbagai persoalan kehidupan sosial,
meskipun banyak orang yang sebenarnya memerlukan layanan konseling ini.
Di
negara-negara maju, layanan konseling telah diselenggarakan secara meluas.
Selain telah menjadi bagian dalam penyelenggaraan sistem pendidikan, konseling
juga dilembagakan di berbagai instansi, seperti perusahaan, instansi sosial,
rumah sakit, dan lembaga koreksional. Jika apa yang terjadi di Amerika itu
merupakan gambaran kebutuhan layanan konseling di Indonesia yang akan datang,
maka nantinya layanan ini menjadi bagian yang cukup penting bagi upaya
peningkatan kesehatan mental masyarakat Indonesia yang akan datang.
Saat
ini kemajuan dan kebutuhan akan layanan konseling telah ditopang dengan
banyaknya lembaga-lembaga pendidikan yang mendidik tenaga-tenaga konselor
profesional. Dalam waktu yang relatif singkat dimungkinkan kesadaran masyarakat
terhadap perlunya layanan konseling akan meningkat.
Sejalan
dengan kemajuan dalam pelayanan terhadap kebutuhan individu, keluarga dan
masyarakat di berbagai institusi, kini konselor telah dicoba dikembangkan
secara luas, baik melalui pendidikan riset maupun praktik di lapangan.
Konseling yang kini berkembang dimasyarakat selain konseling pendidikan yang
telah meluas diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan, juga berkembang
konseling jabatan (diindustri),
konseling untuk reproduksi, konseling bidang kesehatan, konseling keluarga
untuk kesiapan purna tugas, dan sebagainya. Dengan demikian konseling ini
menjadi usaha pemecahan maslah yang mulai dirasakan manfaatnya dan
perkembangannya menunjukkan tanggapan yang positif dari masyarakat.
C.
Profesionalisme Konseling
Profesionalisme
menunjuk kepada komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan
profesionalnya dan terus menerus meningkatkan setrategi-setrategi yang di
gunakannya dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan pekerjaan nya.
Berkembangnya
lembaga-lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan khusus di bidang
konseling serta meningkatnya kebutuhan masyarakat akan bantuan dalam memecahkan
persoalan-persoalan pribadi telah mendorong bagi munculnya kesadaran di
masyarakat untuk memantapakan konseling sebagai pekerjaan professional.
Sebagai
pekerjaan yang professional, konseling tentu mempunyai fungsi dan cara kerja
yang khas yang sesuai dengan bidang keilmuan nya. Saat ini konseling merupakan
yang sama penting nya dengan bidang pekrjaan professional lain seperti
kedokteran, kerja social, kebidanan, dan pendidikan.
Professional
layanan konseling harus terus di lakukan oleh pihak-pihak yang terlibat secara
langsung dengan pengebangan bidang pekerjaan ini. Saat ini pekerjaan konseling
sudah dapat di kategorikan sebagai pekerjaan professional jika kita mengacu
pada pekerjaan profesinal. Konseling di katakan sebagai pekerjaan professional
karena pekerjaan ini memiliki ciri-ciri khusus sebagai ciri keprofesian.
Kriteria esensial sebuah pekerjaan di kelompokan sebagai pekerjaan professional
secara umum di sepakati dan dikemukakan oleh Dunlop maupun Mc Cully yang di
kutip oleh Nuget (1981), yaitu bahawa anggota profesional itu
1. Dapat mendefinisikan perannya secara jelas
2. Menawarkan layanan yang unik
3. Memiliki pengetahuan dan keterampilan
yang khusus
4. Memiliki kode etik yang jelas
5. Memiliki hak untuk menawarkan layanan
kepada masyarakat sesuai dengan deskripsi profesinya.
6. Memiliki kemampuan untuk memonitor
praktik profesinya.
Berdasarkan
kriteria ini sangat jelas bahwa secar formal konseling telah memenuhi
persyaratan, dan karena itu dapat dikatakan sebagai sebuah pekerjaan
professional. Yang perlu di perhatikan adalah kemampuan konselornya untuk terus
ditigkatkan sesuai dengan standar yang diharapakan. Professional ini sangat
bergantung kepada banyak aspek, diantaranya pengalaman para ahli keprofesian
itu dalam pendidikan , riset dan berbagai aktivitas profesi . karena itulah
maka konseling dan konselor sebagai penyelenggara pekerjaan harus memenuhi
persyaratan tersebut. Tanpa memenuhi keempat syarat itu, sebuah pekerjaan
termasuk konseling belum dapat dikatakan sebagai pekerjaan yang professional.
Melihat kecenderungan yang terjadi saat ini dan
kedepan, permasalahan pribadi da social, semaki kompleks. Melihat persoalan
ini, adalah terlalu berat jika segala masalah-maslah kejiwaan di selesaikan
oleh konselor saja. Karenanya saat ini di kembangkan perkembangan-perkembangan
baru dengan cara melibatkan masyarakat luas untuk turut serta dalam membantu
masalah personal tanpa mengurangi keterlibatan tenaga professional dalam
mengatasi masalah tersebut. Beberapa tugas konslor di alihkan ke amsyarakat
untuk meringankan, mempercepat, dan memperluas cakupan penyelesain masalah.
Cara tersebut di sebut profesionalisasi.
D.
Konseling dan Ilmu-Ilmu Lain
Secara
umum, konseling termasuk dalam lingkup ilmu sosial, namun juga tidak mungkin
dipisahkan dari bidang ilmu lain khususnya kesehatan. Yang menerapkan
praktik-praktik konseling pun tidak hanya dilakukan oleh kalangan psikolog
semata. Di Amerika praktek konseling juga dilakukan oleh agen kesehatan mental
masyarakat yaitu petugas-petugas yang menangani bidang kesehatan mental masyarakat
diantaranya psikiater, dokter, psikolog, konselor, dan pekerja sosial.
Karena
praktek-praktek konseling berhadapan dengan individu atau sejumlah individu
yang dinamis maka konselor, psikolog atau siapa saja yang melakukan praktek
konseling perlu memahami psikologi, sosiologi, antropologi, pendidikan, ekonomi
dan filsafat.
1.
Psikologi
akan bermanfaat bagi terapis untuk memahami perubahan dan perkembangan
kepribadian manusia,
2.
Sosiologi
dapat membantu memahami struktur dan institusi sosial.
3.
Antropologi
membantu memahami pentingnya budaya.
4.
Ekonomi
mempelajari dinamika ekonomi termasuk dunia kerja.
5.
Biologi
dan kesehatan yang mempelajari faktor biologis dalam kaitannya perilaku manusia
dan seterusnya.
Semuanya
itu akan memberikan sumbangan yang berarti bagi pemahamansecara lebih utuh
tentang penyelenggaraan praktek konseling. Hasan dkk (1982) menyebutnya
konseling sebagai aplikasi ilmu-ilmu sosial secara interdisipliner.
Dengan
demikian kemampuan konselor harus memiliki pengetahuan khusus harus ditopang
oleh pengetahuan secara interdisipliner. Karena kenyataannya klien yang datang
ke konselor berasal dari berbagai macam latar belakang dan masalah. Kemampuan
interdisipliner ini sangat membantu konselor dalam menjalankan tugasnya.[4]
DAFTAR PUSTAKA
Masudi,
Farid. 2013. Psikologi Konseling.
Yogyakarta: IRCiSoD.
Latipun.
2008. Psikologi Konseling. Malang:
UMM Press.
Sodik,
Abror. 2015. Pengantar Bimbingan dan
Konseling. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
0 komentar:
Posting Komentar